Archive for the ‘My Story’ Category

SOBAT, KAU HARUS DENGAR CERITAKU!

MegaLinorEfesus 3:20 “ Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau fikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.”

Malam itu aku sangat gundah,berulang kali aku menatap layar handphoneku, melihat tulisan berwarna hijau di website SNMPTN, yang minggu lalu membuatku jatuh tersungkur dan sangat bersyukur kepada Tuhan. Tadi pagi aku mendengar dari beberapa teman-temanku yang membicarakan biaya kuliah, ada beberapa dari mereka yang  sangat diberatkan dengan biaya awal dan biaya persemester yang ditetapkan Universitas. Sebenarnya, saat ini aku seharusnya aku sedang bersuka cita, namun perbincangan teman-temanku tadi pagi, membuat mataku susah terpejam. Aku menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Didalam hati aku berangan, mengapa aku menyerah begitu saja ,sementara diluar sana ada ribuan orang yang ingin diterima seperti aku, padahal  Tuhan sudah menyediakan tempat terbaik untukku . Tapi, aku teringat akan wajah ayahku,  Ahh…aku merasa tidak tega mengutarakan ini padanya.

Pastilah, baginya biaya sebesar itu akan sulit dia dapatkan, belum lagi aku harus pindah ke

luarkota, dan tinggal disana, memikirkan segala jenis biaya hidup, transportasi dan tempat. Aku adalah anak bungsu dari 3 bersaudara, kakak laki-lakiku lah yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Puji Tuhan, dia diterima di STAN,sehingga segala biaya kuliah dan kesehariannya dapat dia penuhi sendiri. Ayahku seorang penatua digereja. Dan ibuku sudah lama dipanggil Tuhan karena kanker yang menggerogoti tubuhnya. Masa-masa pahit yang aku jalani saat Ibu harus mendapatkan penanganan karena penyakit yang ganas tersebut memang sudah berlalu sejak tiga tahun lalu, namun perasaan belum dapat menerima kepergian Ibu masih ada sampai saat ini. Akulah yang menjagai Ibu selama ia dirawat dirumah sakit. Aku memutuskan untuk ijin dari sekolahku selama berbulan-bulan, karena aku tidak mau seharipun berpisah dengan Ibu, walau saat itu Ibu tidak bisa aku ajak bicara.

Malam itu, air mataku menetes lagi. Teringat ibu,aku merindukannya. Aku selalu tidak bisa menahan air mata setiap kali mendengar lantunan lagu “bunda”, Seandainya saat ini dia ada disini, mungkin aku sudah menenggelamkan wajahku di pelukannya dan menangis manja. Sempat tersirat untukku  mengubur dalam-dalam cita-cita ini. Aku percaya, dimanapun aku harus belajar, semuanya akan sama saja, yang penting adalah keseriusanku. Tapi, sebelum aku mengambil keputusan itu, aku teringat akan perkataan ibu,bahwa disetiap pergumulan aku harus ingat bahwa aku mempunyai Tuhan yang besar,dan Dia akan membantuku kapanpun aku memanggilnya, Dia tidak akan membiarkan aku  terjatuh sampai  terjerembab,sebab Dia penuh dengan kasih. Aku menghapus air mata yang masih mengalir, lalu  memejamkan mataku dan berdoa ,aku berserah kepada Tuhan dan meminta agar Dia campur tangan didalam masalah ini. Aku merasakan lawatan Tuhan yang sangat besar malam itu. Hampir 1 jam aku tenggelam dalam hadirat Tuhan yang begitu menjamah hatiku, Dia mengembalikan suka cita dan memberikan rasa damai yang sebelumnya pergi entah kemana. Aku kembali tersenyum dengan iman yang percaya, bahwa segala rancangan Tuhan adalah yang terbaik.

Setelah itu, Iseng-iseng aku membuka website resmi tempat aku kuliah, di Handphoneku aku mengetikkan “admis.ipb.ac.id” lalu, setelah itu aku memasukkan password dan id mahasiswa milikku untuk mengetahui biaya yang harus aku bayar. Dan.. Puji Tuhan! Dialah Yesus yang selalu memberikan lebih dari apa yang kita doakan ! Tuhan benar-benar luar biasa, kuasaNya sungguh nyata! Disana aku membaca kalimat yang benar-benar membuatku tidak percaya “Selamat! Anda berkesempatan mendapatkan program BIDIK MISI”.

“Tuhan Yesus!” aku bersorak sungguh sangat bahagia. Meski sempat tidak percaya, namun setelah beberapa kali mengulang log in kesitus tersebut, tulisannya tidak berubah. Sebelumnya bagiku apa yang aku alami ini adalah sesuatu yang sangat diluar logika, karena sebelumnya aku tidak pernah mendaftarkan diriku dalam program ‘beasiswa penuh’  ini, namun Yesus sudah mengerjakan mujizat dalam hidupku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan, dan dengan air mata bahagia, aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepada temanku “Meg…kamu harus dengar ceritaku, kebesaran Tuhan dalam hidupku!”

(Kesaksian: Revi Juniar S, ditulis oleh Mega Linor Widyanthy Tarigan-Mahasiswa)

SPEAK & DECLARE

LinaSPEAK – Ucapan adalah Doa

Waktu itu, dalam perjalanan pulang dari gereja (saya ikut mobil seorang kakak rohani), sekitar jam 9 malam, tiba-tiba ada mobil dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi  seperti akan menabrak mobil yang kami tumpangi. Secara reflek saya langsung berteriak: “gila tuh supir, nyetir sembarangan!” Beberapa detik kemudian, kakak rohani saya menegur supaya tidak “mendoakan” supir itu menjadi gila. “Kita adalah Anak RAJA, perkataan itu berkuasa. Jadi hati-hati. Ucapan itu seperti Doa” begitu dia menasihati saya. Sejak itulah saya “ngeh” untuk mengucapkan kata-kata yang baik.

Saya jadi lebih berhati-hati dalam berbicara, dan memilih untuk menggunakan kosa kata yang baik (walaupun sesekali masih “terlewat” juga). Saya mulai memilih untuk tidak memanggil orang lain dengan istilah/julukan yang berkonotasi “jelek”. Sebaliknya, saya lebih suka memanggil nama. Contoh: tidak memanggil “si tiang listrik”, “si bonek”, “si sipit”, “si gendut”, “si kuping gajah”, “si kutu loncat”, dll. Karena menurut saya kata-kata itu tidak ada gunanya (sia-sia) dan tidak memberi efek yang baik, untuk orang lain dan secara tidak langsung untuk diri saya sendiri.

Ada kalimat bijak, “If you can not say something nice, better not to say anything”.  Kalo tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang baik, lebih baik diam. Kalo teman-teman lagi saling mencela, saya memilih untuk diam. Saat marah, saya memilih untuk “diam” sebentar, sebelum mulai “ngoceh”. Supaya kata-kata yang keluar lebih terkontrol. Saya juga mengingat ayat dalam Amsal 25:11, “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.

Selain itu, saya juga belajar untuk sering memberikan kata-kata pujian (secara tulus). Saya selalu percaya bahwa dari perkataannya, seseorang bisa dinilai sebagai dapat dipercaya atau tidak.

Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya! Amsal 15:23

Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang. Amsal 16:24

DECLARE – Speak to that “mountain”

Dulu mata saya sering bintitan (ada benjolan kecil). Sesuai tradisi nenek moyang, kalo bintitan, maka harus melilitkan benang hitam di jari tangan. Tapi sejak saya percaya kepada Tuhan, saya berdiri di depan kaca sambil “mendeklarasikan”:  “Hai mata, kamu diciptakan Tuhan sempurna, tidak pake bintit-bintit, aku percaya dengan bilur-bilur Yesus, mataku tidak bintitan”. Dan kenyataannya, sudah sejak lama, sampai saat ini, saya tidak pernah bintitan lagi.

Dulu saya sering bisulan, seperti langganan sedang ngantri. Setelah di pantat sembuh, muncul di punggung. Di punggung sembuh, muncul di lengan. Dulu “obatnya” adalah pake “telor kodok” dan saleb bisul. Sampai akhirnya saya mencoba “obat” baru, yaitu “speak to that mountain” (baca: berbicara kepada si bisul): “Darahmu bersih, tidak bisulan!” Puji Tuhan…”mountain” itu tidak muncul lagi sampai saat ini.

Muka saya dulu jerawatan (besar-besar dan ada “isi”-nya), saat dokter mengebor (untuk membuka dan mengeluarkan “isi jerawat”-nya, air mata bercucuran. Sangat sakit, karena kulit muka manusia kan sensitif. Tapi sejak tahu bahwa perkataan berkuasa, sambil ngaca, saya bilang: “Mukamu halus, bersih, kulit muka bagus, tidak berminyak dll”. Sekarang saya tidak jerawatan lagi (walaupun bekas-bekas BOR dari dokter masih terlihat).

Dalam pekerjaan, saya mengalami banyak mujizat. Sebagai pemeriksa pembukuan perusahaan, membuat saya harus menghadapi bermacam-macam “tantangan”. Saat takut/gelisah menghadapi orang-orang yang kurang suka pekerjaannya diperiksa, maka Firman Tuhan ini yang saya deklarasikan: “Do not be afraid of anyone, for judgment belongs to God. Bring me any case too hard for you, and I will hear it”  Deu 1:17

Saat diberi tugas kantor yang rasanya “mustahil”, merapikan pembukuan perusahaan dari tahun-tahun sebelumnya dengan tenaga (hanya berdua) dan waktu yang terbatas. Tidak mungkin sepertinya. Tapi benar Firman Tuhan, “With God, all things are possible”. Suatu pagi, Tuhan “berbicara” dalam hati saya, supaya setiap pagi sebelum berangkat kerja, selama setengah jam (penuh), saya mendeklarasikan Firman Tuhan atau mengatakan hal-hal baik yang saya perlukan/yang saya ingin terjadi supaya pekerjaan bisa selesai tepat waktu. Saya berkata (mengeluarkan suara): “I can do all things through God who strengthen me. Pertolonganku datangnya dari Tuhan, pencipta langit dan bumi, yang tak terlelap sekejap, tak tertidur sedetik, penjagaku Allah Israel”.

Kenyataannya, kami bisa merapikan pembukuan sesuai waktu yang ditentukan. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan!  Firman Tuhan berkata, “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan. Orang yang berharap sama Tuhan, tidak dikecewakan”. Saya percaya, hikmat dari Tuhan memampukan saya bekerja cepat dan benar. Keajaiban sungguh terjadi. Kami bisa menyelesaikan tugas bahkan 1 hari lebih cepat dari yang ditetapkan. Sampai Presdir di kantor bertanya seperti tidak percaya, “Sudah selesai?”

“Sudah!” jawab saya (Cat: beliau tidak tahu betapa banyaknya bala tentara malaikat yang menolong saya, hehehe).  

Saat belum mendapat pekerjaan, dan mulai putus pengharapan, Tuhan bicara dalam hati untuk menyanyikan lagu “Lebih dari Pemenang” (padahal kondisi waktu itu, sama sekali tidak ada ciri-ciri seorang pemenang).  Puji Tuhan! Saya mulai bangkit, iman mulai tumbuh. Tidak lama kemudian, saya mendapat pekerjaan. Ada kuasa dalam pujian!

Apapun kondisi, masalah atau tantangan yang kita hadapi, meresponlah dengan kata-kata yang baik/positif. Ucapan adalah doa. Lakukan juga deklarasi (speak to that “mountain”), maka kecaplah dan lihatlah (taste and see) keajaiban demi keajaiban terjadi!! (Lovinalina-INSIDE, Jakarta)

Melangkah = Belajar Kenal Tuhan

Hmm… selama ini sulit buat saya (sesungguhnya) mengerti apa itu tujuan hidup. Karena sepertinya terlalu absurd dan jauuuuh tak terjangkau. Terlebih lagi ada begitu banyak hal yang tidak lagi gampang diprediksi. Dunia gonjang-ganjing makin gajebo alias gak jelas. Emosi dan perasaan saya juga makin gampang ikut gonjang-ganjing. Mungkin orang lain menyebutnya “kurang iman”. Tapi saya tidak setuju. Buat saya ini “manusiawi”. (Bela diri mungkin, Red).

Senin kemarin saya memutuskan untuk pergi ke sebuah bank dekat rumah mengurusi sesuatu. Sampai di sana,  CS-nya berkata, “Sebentar ya, duduk saja dulu. Komputer saya lagi ‘hang”. Hadeeeehhh! “Halangan apa lagi sih ini?!” kata saya, tapi dalam hati. Sejujurnya saya mulai bimbang, apakah rencana saya di bank ini sesuai kehendak Tuhan. Hmm… ruwet kan cara berpikir saya? Yup! Dan semakin ruwet, sampai saya bbm seorang sahabat untuk curhat colongan.

Tiba-tiba ketika sedang menumpahkan isi hati, kekesalan saya kepadanya, CS yang sama memanggil saya. Jangka waktu dari komputernya yang ‘hang’ sampai saya dipanggil kurang lebih 5 menit. Itu pun sudah terpotong dengan waktu saya ke kamar kecil. Tapi dengan begitu mudah saya “putus asa” dan mulai bertanya-tanya, “Apakah ini kehendak Tuhan?”, “Jangan-jangan gue salah langkah”, “Terlalu emosional?”

Padahal, ini urusan kecil. Percayalah. Tapi sampai jadi begitu besar. Small case became so huge for me in a sudden, that time. Memori saya juga terlempar kepada saat dimana saya begitu kecewa dan akhirnya harus menyerah karena sadar bahwa keputusan saya untuk kuliah lagi terlalu terburu-buru. Singkat cerita, urusan di bank itu selesai. Dalam waktu kurang dari 30 menit! Saya masih punya banyak waktu sebelum harus menambah uang parkir jadi dua ribu kali dua. Sisa waktu saya gunakan untuk melakukan urusan di ATM bank sebelah.

Tiba-tiba saja saya mengerti sesuatu…

Yaitu bahwa melangkah maju adalah jauh lebih baik ketimbang hanya berdiam dan do nothing. Kenapa? Sebab dengan melangkah, ada begitu banyak hal baru yang sangat berharga yang pasti akan saya dapatkan. Contoh: ketika saya dengan nekat walaupun masih begitu bimbang apakah harus kuliah lagi, tapi tetap melangkah maju, akhirnya saya mengerti dan sadar bahwa waktunya tidak tepat. (ketika harus berhadapan dengan “insiden” di hari tes masuk). Saya sadar bahwa saya terburu-buru. Lega dan damai rasanya. Aneh, padahal sebelumnya saya begitu gelisah.

Saya tidak akan pernah tahu kapan sesungguhnya waktu yang tepat untuk saya melangkah, atau menunda kuliah kalau saya tidak pergi dari rumah untuk mengikuti tes masuk hari itu. Sebaliknya, saya hanya akan tinggal diam dalam rasa gelisah dan akhirnya pasrah tanpa ada usaha apapun.

Untuk urusan bank, saya juga awalnya sangat ragu. Tapi pada akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari rumah dan do something instead of do nothing. Meskipun sempat “dihadang” dengan komputer yang ‘hang’. Pada akhirnya saya mengerti bahwa saya sudah mengambil keputusan yang tepat. Lagi-lagi ada rasa lega dan damai di hati.

Dan tahukah teman-teman bahwa dengan melangkah maju, kita akan belajar untuk bergantung atau menjadi dependable dengan Tuhan? Ya. Mengapa? Karena kalau kita diam saja, kita tidak pernah membutuhkan sebuah kuasa dan otoritas yang jauh di atas kita sehingga bisa mengendalikan apa yang tidak sanggup kita kendalikan. Semuanya aman terkendali kalau kita diam saja. Tapi kita tidak belajar apapun. Termasuk belajar untuk mengenal Tuhan lebih lagi. (EL-INSIDE, Jakarta)

TUJUAN HIDUP HARIAN

Hmm… lagi-lagi aku terjebak dalam suasana hati yang tidak bagus hari Sabtu ini. Rasanya seperti hidup tanpa tujuan. Tapi tiba-tiba….

Dalam hatiku muncul “suara lembut”: “Lakukan apa yang belum atau sulit untuk kamu lakukan selama ini. Pilih satu saja!” Ini pasti Roh Kudus. Aku pun memilih untuk bisa berkata-kata dengan baik, khususnya ketika bersama Papa. Biasanya, aku memakai nada/intonasi tinggi setiap kali menjawab/membalas perkataan Papa. Kenapa? Karena memang itu intonasi yang “biasa” terdengar di rumah kami kalau ada Papa (baca: gaya bicara Papa dan bagaimana kami menimpalinya).

Hari itu aku diajak Papa melihat-lihat mobil baru. Karena tidak ada mobil di rumah, dengan menumpang mobil adikku yang akan mengantarkan kue, kami turun di depan sebuah showroom. Setelah beberapa kali tanya jawab dengan salesgirl di sana. Kami pun keluar dari situ. Tiba-tiba Papa mengajak ke showroom lain. “Naik taksi aja! Nggak apa-apa, Papa bawa uang kok!” kata Papa. Kami meluncur dengan taksi ke showroom lain. Argo taksi menunjukkan angka enam ribu. Papa memberikan Rp 7.000,-. “Kalau kita naik bajaj, mana boleh tujuh ribu!” kata Papa. Yah. Begitulah. Untuk jarak dekat, “kendaraan dewa” bernama bajaj memang jauh lebih mahal ketimbang taksi.

Setelah melihat dan bertanya-tanya kepada salesman di showroom itu, kami mencegat taksi lain untuk pulang. Argonya Rp 9.250,-. Papa memberikan Rp 10.000,-. Murah meriah! Tapi bukan itu yang ingin kuingat. Pengalamanku pergi bersama Papa melihat-lihat mobil, dimana aku bisa bercakap-cakap dengan intonasi yang benar dengan Papa. Ini yang luar biasa!

Satu lagi, dengan intonasiku yang benar (tidak perlu dengan nada tinggi), Papa pun terlihat sangat tenang. Tidak emosional seperti biasa.

Aku berhasil mencapai “tujuan hidup harian”ku! Sangat menyenangkan sekaligus mengagumkan. Aku kagum akan Tuhan… yang mengajariku melakukan hal-hal sederhana sekaligus suliiit kulakukan. Dan ternyata hasilnya luar biasa. Aku jadi mengerti, rupanya seperti itulah cara menghadapi Papa. Aku harus berubah lebih dulu, supaya Papa juga berubah.

Apa hal sulit untuk teman-teman lakukan? Jadikan itu Tujuan Hidup Harianmu! Pilih satu hal saja yang sederhana dan spesifik/jelas. Lakukan. Lalu nikmatilah hasil yang luar biasa di hari yang sama! (Tapi ingat: harus sesuatu yang benar ya). Semangaaat!! (Erna Liem-INSIDE, Jakarta)

Kiat Mengatasi Minder

Orang yang memiliki harga diri yang rendah sesungguhnya menderita secara emosi. Ekspresi orang yang inferior ini ada dua:

  1. Minder menghindar, segan tampil dan segan konflik dengan orang lain. Jika ada konflik, suka menyalahkan diri sendiri, bahkan saat dirinya tidak bersalah.
  2. Minder menyerang. Ekspresinya sombong atau angkuh, suka menyerang jika terpojok. Marah berlebihan dan cenderung menyakiti orang lain dengan kata atau perilaku.

Harga diri ibarat tubuh, bertumbuh secara bertahap dan perlu penanganan yang baik agar tumbuh dengan sehat.

LIMA PEMBENTUK HARGA DIRI

1. Harga diri Akademis.

Kita merasa berharga karena punya kemampuan akademik tertentu. Menonjol di area tertentu, dan sering mendapat pujian karena kelebihan itu. Kita mendapatkan prestasi akademik yang baik, terutama saat masih SD hingga SMP. Pujian dan merasa berharga secara akademis membuat kita PeDe.

2. Harga Diri Emosi.

Ini bertumbuh karena merasa diri diterima. Emosi kita baik positif maupun negatif diterima di rumah. Ortu memahami kita tatkala  menangis dan tidak menganggap kita cengeng. Ikut gembira saat kita senang. Ada kebebasan mengungkapkan emosi secara pas di antara keluarga. Ada perasaan bebas berbicara, dan mendapat apresiasi dan pujian secara emosi dari ortu dengan cukup.

3. Harga Diri Sosial.

Perasaan berharga ini tumbuh karena dua hal. Penerimaan orangtua dan pergaulan yang sehat. Ortu menerima kita apa adanya, tidak membandingkan kita dengan lainnya. Didukung kesempatan dan kesempatan bergaul sejak kecil, dan memiliki beberapa sahabat baik untuk berbagi.

4. Harga Diri Fisik.

Kita punya penampilan yang baik, mulai dari kebiasaan rapi, bersih dan penampilan fisik yang relatif ok. Sering anak yang cantik atau cakap parasnya banyak mendapat pujian. Juga anak yang rapi dan pembersih. Termasuk di dalamnya ketrampilan atau skil seperti rajin bekerja, dan trampil mengerjakan pekerjaan di rumah seperti memasak, membersihkan rumah, suka menolong, dlsb.

5. Harga Diri Spiritual.

Harga diri yang dibangun karena hubungan yang baik dengan Tuhan, bertumbuh secara iman, dan mendapat contoh yang cukup dari ortu dan lingkungan tentang manfaat ibadah.

SHARING PRIBADI

Sejak  SD saya pemalu, peragu dan minder. Saya dibesarkan seorang Papa yang keras, pecandu alkohol yang sering marah dan ringan tangan pada anak. Kemarahan ayah tak jarang membuat saya takut dan dan  terbawa hingga ke tempat  tidur. Akibatnya malam kadang ngompol hingga di  usia 8 tahun. Saya besar dengan julukan negatif,  ”giman”, alias gigi mancung. Sebab sebagian gigi saya memang maju ke depan.  Jadi kalau kakak atau sahabat saya memanggil saya bukan dengan Julianto, tapi “Giman”.

Seingat saya hampir tidak pernah saya ingat dipuji oleh Papa atau Mama. Bahkan ketika mengingat  apakah saya pernah dipeluk, dipangku dan digendong sulit sekali rasanya memori itu keluar. Saya hanya ingat diurus dengan kasih sayang oleh kakak angkat saya di rumah.

Di sekolah prestasi akademik saya biasa-biasa saja. Bahkan tak jarang angka merah menghiasi rapor. Kadang disemprot karena nilai jelek itu. Prestasi dalam bidang olahraga nyaris tidak ada.

Di rumah saya sering dipersalahkan. Urusan apa saja di rumah membeli ini dan itu, sayalah yang disuruh. Kalau saya menolak, pasti dibentak. Kalau salah membeli ya dimarahin. Omongan saya juga tidak lancar, kadang terbata-bata. Akibatnya terasa saat SMP. Saya menjadi seorang remaja peragu, takut bicara di depan kelas. Saya selalu merasa takut salah.

Secara fisik saat di SMA  saya kurus sekali. Disamping gigi yang tak rata, saya merasa badan saya tidak gagah. Dibanding banyak teman yang badannya gagah, ototnya kekar. Minder habis. Apalagi membandingkan dengan teman yang punya bakat memimpin, musik, menyanyi, dsb. Belum lagi soal uang jajan yang nyaris tak punya, dibanding teman-teman yang sering makan ke kantin. Minder saya tambah parah.   Saya benar-benar tumbuh dengan harga diri yang rendah.

KIAT MENGATASI MINDER

Pemulihan ini bersifat proses, tak pernah sekali jadi atau dalam waktu singkat. Kita perlu lingkungan yang baik dan dukungan orang terdekat kita.

Pertama, saya menyadari dan mengakui bahwa memang saya minder, peragu dan penakut. Saya harus jujur dengan diri saya sendiri. Saya mencoba terbuka dengan kelamahan dan kekurangan dan siap jika saya dikritik atau ditegur. Tujuannya supaya saya tidak mudah tersinggung

Kedua, saya inventarisasi kelebihan-kelebihan saya. Saya bisa menyanyi dan bagus bermain gitar. Karena itu saat kuliah saya bergabung dengan grup paduan suara dan vocal grup. Grup kami sering dibawa dosen tampil di beberapa kota. Harga diri saya mulai naik.

Ketiga, teman-teman di kampus bilang saya bagus mengajar. Aneh, berbeda dengan perasaan saya, merasa diri takut bicara. Saat praktek kerja (KKN) dosen menempatkan saya mengajar di salah satu SMA. Seminggu sekali saya mengajar. Pengalaman ini salah satu titik balik kepercayaan diri saya sembuh. Tak disangka murid-murid suka  dan antusias belajar.  Saya lalu memikirkan alangkah indahnya kelak jika saya bisa menjadi pengajar. Hal ini muncul karena saya kagum pada beberapa dosen dan guru saya saat di SMA.

Keempat, suka menolong. Salah satu sifat yang saya perhatikan menghasilkan banyak teman adalah suka  menolong. Sejak di kampus saya mengembangkan sifat itu. Suka menolong dan suka memberi. Membantu teman carikan buku. Meminjamkan catatan, mengajar teman main gitar, dlsb. Dampaknya saya mulai banyak teman, dan saya merasa disayang. Tentu saya senang.

Kelima, menikah dengan orang yang cocok. Pernikahan ternyata menyembuhkan rasa minder dan trauma masa lalu saya. Hubungan yang saling membangun dan harmonis dengan pasangan membuat saya menemukan harga diri sesungguhnya. Perasaan disayang, dimengerti dan dihargai menyembuhkan.  Pujian dan penghargaan dari istri saya  Roswitha membuat saya berarti. Selain itu kedua putra yang dianugerahkan Tuhan membuat saya mengembangkan diri sebagai seorang Ayah. Perasaan dibutuhkan dan disyang oleh anak-anak menanamkan identitas baru, saya berharga dan dicinta. Dalam pernikahan inilah saya menemukan satu bakat baru dalam diri saya, menulis. Itu karena istri saya terus mendorong saya menulis, dan kerap memberikan apresiasi.

Keenam, setelah beberapa kali pindah kerja, saya merasa cocok bekerja sebagai konselor. Lalu mengajar dan  menulis. Tiga pekerjaan ini membuat saya merasa diri berarti. Bertemu dengan banyak mahasiswa membuat saya kaya dalam interaksi. Menulis membuat saya punya banyak sahabat, yang tersebar di banyak tempat. Konselor membuat saya merasa bisa menolong banyak orang yang sedang susah dan buntu jalan hidupnya. Menjalani karir yang sesuai, terbukti mengatasi minder saya.

Ketujuh, membangun hubungan pribadi dengan Tuhan. Melatih rasa bersyukur. Spiritualitas yang baik membuat kita selalu berpikir positif dan menghargai setiap hal baik yang ada pada kita. Menyadari panggilan Ilahi, membangun cita-cita (visi) menjadi orang berguna bagi sesama membuat kita selalu antusias mengembangkan diri.

PENUTUP

Setiap kita telah diberi kelebihan dan talenta.  Sebagian kelebihan itu belum kita sadari dan sebagian talenta itu mungkin masih tersembunyi.

Jika Anda masih muda dan belum menikah, rancanglah pernikahan anda dengan baik. Temukan dan pilihlah pasangan  hidup yang sesuai dan pas buat Anda. Pasangan yang membangun hidupmu lebih baik. Pernikahan terbukti memulihkan masa lalu yang kurang kasih sayang dan juga harga diri.

Jika Anda sudah menikah, cintailah pasangan dan anak anak dengan baik. Jadikanlah  mereka matahari Anda, yang dapat memantulkan kembali kasih kepada anda. Pilihlah karir yang sesuai, yang olehnya Anda merasa berarti dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dengan demikian harga diri Anda akan dibangun dengan sendirinya.

Harga diri yang rendah atau minder menjadi penyebab ketidaksuksesan dalam hidup, baik bergaul, studi, kepuasan pernikahan, hingga keberhasilan karir. (Julianto Simanjuntak)

Tulisan ini telah meminta ijin dari penulisnya, Bpk Julianto Simanjuntak. Beliau adalah Pendiri Pelikan, Penulis, dan Pengajar Konseling di STT Jaffray. Twitter: @PeduliKeluarga. Web: www.juliantosimanjuntak.com Ebook: Bagi pengguna Ipad dan Iphone bisa mengunduh Buku Julianto dan Roswitha via www.juliantobooks.mahoni.com

Gambar Diri Saya Dulu

Saya dibesarkan dalam keluarga di mana ayah saya sangat sangat pendiam, sementara ibu saya sangat-sangat dominan. Hal ini membuat saya bertumbuh menjadi pribadi yang  pasif, childish, dan tidak bisa memimpin layaknya seorang pria. Tidak punya yang namanya “inisiatif”. Saya tidak pernah jadi orang yang mengajukan diri atau memulai sesuatu yang baru. Saya selalu menunggu seseorang menyuruh saya atau ada orang lain duluan memulai baru saya ikut. Saya takut dengan yang namanya tanggung jawab karena takut salah, dan gagal. Saya tidak mau disalahkan kalau terjadi kegagalan.

Selama bertahun-tahun saya menyalahkan ayah karena dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala keluarga. Kenapa dia harus membiarkan ibu saya yang memimpin? Kenapa dia tidak memberi saya teladan bagaimana harusnya menjadi seorang pria?

Keadaan ini mencapai puncaknya ketika saya menjalin hubungan dengan seorang wanita dan berencana menikah. Sifat saya yang terlalu pasif, tidak bisa memimpin menimbulkan masalah. Bayangkan saja bagaimana jadinya kalau dalam sebuah hubungan, selalu pihak wanita yang aktif dan prianya cuma menjawab, “Ok.” “Terserah saja.” Bagaimana bisa pria seperti itu masuk dalam pernikahan? Bagaimana bisa pria seperti itu menjadi kepala keluarga?

 Saya sadar saya harus berubah. Tapi bagaimana caranya? Gambar diri saya sudah terlampau hancur. Saya tidak bisa melihat diri saya sebagai seorang pria yang memimpin. Saya melihat diri saya sebagai pria yang pasif. Saya terbiasa dipimpin dan bukan memimpin. Saya berusaha berubah dengan berusaha menguat-nguatkan diri saya, berusaha berinisiatif. Tapi gagal, karena yang saya rubah adalah tampilan luar, bukan diri saya yang ada di dalam.

Berkat anugerah Tuhan, saya bertemu seorang hamba Tuhan yang mengajarkan saya bagaimana caranya membentuk ulang gambar diri saya yang sudah rusak itu. Saya diberi sejumlah ayat-ayat untuk direnungkan tentang peran pria. Seperti:

1 Korintus 5:17, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Dengan merenungkan ayat ini saya disadarkan saya adalah ciptaan baru dalam Kristus, apa yang saya alami di masa lalu karena perbuatan ayah saya tidak lagi berpengaruh dalam hidup saya. Saya bisa punya hidup yang baru.

1 Korintus 16:13 “Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat!

Efesus 5:23  “suami adalah kepala isteri

Selama berbulan-bulan setiap hari saya merenungkan ayat-ayat itu. Dan dampaknya memang terasa, gambar diri saya yang dulunya hancur pelan-pelan mulai pulih.  Saat gambar diri mulai pulih, maka semua sifat yang selama ini saya usahakan, seperti inisiatif, keinginan untuk memimpin, keinginan untuk bertanggung jawab muncul dengan sendirinya tanpa harus dipaksa-paksa atau diusahakan.

Apakah dalam proses mengubah gambar diri itu saya tidak menerima bantuan dari orang lain? Tidak. Selama proses itu saya tetap berkonsultasi dengan mentor saya. Kami membahas bagaimana harusnya seorang pria bersikap, apa rencana ke depan. Tapi saya sadar bahwa semua yang kami bahas itu tidak akan terwujud tanpa dasar gambar diri yang sehat. Waktu gambar diri saya makin pulih, apa yang kami bicarakan itu tentang bagaimana harusnya menjadi pria menjadi mudah dilakukan.

Kejadian itu sudah berlalu, tapi sampai sekarang saya tetap merenungkan firman itu, karena saya sadar saya belum menjadi pria yang sempurna. Gambar diri saya memang sudah pulih, tapi saya sadar kalau gambar diri itu tidak dijaga, ada kemungkinan gambar diri itu bisa rusak. Jadi setiap pagi dalam saat teduh, saya selalu menyempatkan diri untuk merenungkan ayat-ayat itu, walaupun tidak seintens dulu saat pertama kali memulainya, tapi setidaknya cukup untuk menjaga agar gambar diri itu tetap utuh.  (Denny Pranolo)

Mimpi Sejuta Dolar

Oleh karena kerusuhan berbau SARA yang terjadi di pertengahan 1998, orangtua Merry pada akhirnya membuat sebuah keputusan yang sulit. Mengapa sulit? Sebab mereka bukanlah keluarga yang hidup dalam materi berlimpah. Merry sangat mengerti kondisi keuangan keluarganya, sehingga keputusan yang sudah dirasa sulit oleh orangtuanya, juga dirasakan sebagai kesulitan sangat besar bagi Merry. Tapi toh, dia tetap harus menuruti apa kata orangtua, karena dia percaya ketika orangtuanya telah mengambil keputusan, itu pasti yang terbaik sehingga harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin.

Terbang bersama teman-teman dalam pesawat untuk menuju Singapura bukanlah memori menyenangkan buat Merry. Dia tahu apa yang harus dia pertimbangkan baik-baik. Yaitu lulus tepat waktu, dengan nilai terbaik demi membahagiakan orangtua, dalam keterbatasan dana yang sangat luar biasa! Merry pun menangis di tengah-tengah teman-teman SMA-nya yang begitu bahagia karena akan belajar ke luar negeri diantar oleh orangtua masing-masing, sementara Merry sendirian.

Sesampainya disana, kekuatiran Merry semakin nyata! Uang yang tersisa dari pinjaman bank untuk biaya kuliah, buku, dan asrama, hanyalah S$10 untuk seminggu! Dan Merry pun harus mengisi perutnya setiap pagi dengan mi instan yang memang sengaja disiapkan oleh mamanya demi membantu Merry mempermudah metode penghematannya selama kuliah disana. Seorang teman yang hampir setiap pagi melihat Merry merebus mi instan pernah bertanya kepadanya: “makan mi instantkantidak sehat?”, dan dijawab oleh Merry “saya menyukainya”, dengan tersenyum. Padahal karena terpaksa. Untuk air minum? Merry mengambilnya dari keran di sekolah! Gratis dan memang bisa diminum, tetapi yang membuatnya menahan rasa malu adalah karena tidak ada satu pun dari teman-teman kuliahnya yang melakukan hal sama seperti dirinya. Itu beberapa cara Merry menyiasati “kesulitan” dalam hal makan dan minum. Ini dia lakukan supaya dia bisa membeli semua keperluan buku kuliah, karena Merry tidak bisa belajar tanpa buku, sekalipun bisa meminjam di perpustakaan sekolah.

Semua kesulitan ini membuat Merry bermimpi, dan dengan tekat kuat ingin mewujudkan mimpinya, apapun harga yang harus dia bayar. Apakah itu? Yaitu memiliki penghasilan satu juta dolar sebelum usia 30 tahun!

Tahun pertama kuliah berhasil dilewati dengan baik (walaupun di tengah kesukaran demi kesukaran). Di tahun kedua, Merry mulai bekerja, supaya punya penghasilan. Paling tidak untuk bisa membeli makanan yang lebih “layak”. Bekerja di toko bunga, menjadi pembagi brosur di pinggir jalan, merasakan panas, hujan, pulang tengah malam, fisik sangat lelah, menanggung rasa malu ketika brosur yang ia bagikan ditolak, dsb. Tapi semua pada akhirnya bisa Merry lalui.

Di tengah perjuangannya, Tuhan mempertemukan Merry dengan seorang teman kuliah yang juga dariIndonesia. Alva, namanya. Setelah lulus, mereka pun bertunangan dan berjuang bersama mewujudkan mimpi sejuta dolar itu. Selesai kuliah, mereka bertekat untuk tidak bekerja “kantoran”. Bagaimana caranya? Mereka bergabung dengan sebuah agen penjual produk keuangan dari berbagai bank dan perusahaan asuransi. Perhitungan pun dimulai oleh Alva. Dan atas dasar perhitungan ini, Merry harus bekerja 15 jam sehari, membagikan brosur, memberikan presentasi tentang produk yang dijual, dari pagi hari, sampai nyaris tengah malam! Ini dilakukannya demi mengejar targetnya sendiri. Ia telah berjanji kepada orangtuanya, bahwa jika sampai 3 bulan tidak berhasil mencapai targetnya sebagai agen produk keuangan, maka Merry akan mulai bekerja kantoran. Sesuai keinginan orangtuanya.

Beberapa hari sebelum batas waktu tiga bulan, ketika Merry mulai putus asa, mujizat Tuhan terjadi! Seorang wanita tua, yang bahkan oleh Merry dianggap bukanlah “target” yang tepat untuk mendapatkan brosur dan presentasinya, ternyata justru membawa Merry mencapai tujuan! Dalam usia 26 tahun, Merry akhirnya berhasil mencapai mimpinya: punya penghasilan 1 juta dolar!! Saat ini, Merry tinggal di Singapura dan hidup dalam kelimpahan secara materi, walaupun tetap dengan gayahidup bersahaja. Perjuangan, ketekunan, air mata, doanya dan doa orangtuanya, tidak sia-sia! (R-INSIDE Diringkas dari buku “Mimpi Sejuta Dolar”, penerbit Gramedia, penulis Alberthiene Endah)

(Untuk cerita selengkapnya, teman-teman bisa mendapatkan bukunya di toko-toko buku terdekat! Selamat membaca dan terinspirasi untuk melangkah di tahun yang baru!)

Dalam Gelap Kulihat Yesus

Nama saya Ricky Sobana. 33 tahun yang lalu, tepatnya 9 April 1978 saya dilahirkan ke dunia ini. Kehadiran saya ini tentu membawa kebahagian bagi kedua orangtua dan juga keluarga besar mereka. Namun, kebahagian itu harus diiringi dengan kesedihan. Pasalnya, saya terlahir dengan “marfan sindrom”, yaitu mengidap kelainan pada pembuluh darah dan jantung, kerangka tubuh dan mata. Ini mengakibatkan mata kiri saya buta total dan mata kanan hanya bisa melihat dengan jarak 15 cm saja. Hal ini dikarenakan waktu mengandung, mama beberapa kali terjatuh.

Tapi meskipun tidak bisa melihat, saya tetap menempuh pendidikan di sekolah umum. Selama proses belajar, saya membutuhkan bantuan teman-teman, terutama dalam hal membaca tulisan yang ada di papan tulis. Setelah itu saya memberikan imbalan berupa uang jajan. Ini terus berlangsung sejak saya SD sampai SMP.

Namun, akhirnya teman-teman mulai enggan membantu. Dan karenanya saya pun mulai melakukan hal itu sendiri dengan cara maju ke depan papan tulis setiap kali akan mencatat. Olok-olok dan sindiran teman-teman tak pernah saya gubris, meski sebenarnya saya sangat malu. Hari demi hari studi terasa semakin berat, sampai akhirnya saya memutuskan berhenti sekolah sejak kelas 2 SMA.

Tahun 1997, saya menjalani operasi mata dan membuat mata kanan saya dapat melihat dengan jelas dan terang. Namun, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah operasi, saya harus check up ke dokter. Ternyata dokter menyarankan untuk operasi lagi karena ada benang di mata saya. Saya pun melakukan operasi kembali. Hasilnya, mata kanan saya malah sama sekali tidak bisa melihat! Sekarang, kedua mata saya buta total.

Rupanya “benang” yang dimaksud oleh dokter tersebut sebenarnya adalah saraf mata saya, sehingga ketika dia mengguntingnya, maka mata saya menjadi rusak. Di sini jelas sekali terjadi malpraktek, namun saya tidak bisa menuntut secara hukum karena sebelum dioperasi saya diminta menandatanganisuratyang isinya menyatakan bahwa saya siap menerima apapun hasil operasi.

Setelah peristiwa itu, saya mengurung diri di kamar berbulan-bulan. Sedih, marah, kecewa dan takut saya rasakan. Berulang kali saya mencoba bunuh diri, namun rencana itu tak pernah terlaksana. Sampai satu saat saya bermimpi melihat Tuhan Yesus. Dalam mimpi itu Dia pergi meninggalkan saya. Saya sangat sedih sekali.

Esoknya saya memutuskan untuk kembali ke gereja dan pelayanan. Karena saya menyukai musik, terutama alat musik drum, saya pun memilih kembali bermain drum. Begitu sulit memang, namun akhirnya dengan anugerah Tuhan saya dapat bermain drum kembali. Hal ini membuat saya percaya bahwa saya bisa melakukan hal yang bisa dilakukan oleh orang normal. Dengan percaya diri saya mengikuti berbagai perlombaan band, dan menang!

Selain itu, Tuhan juga menjawab doa saya. Ketika saya meminta seorang istri yang normal, Ia memberikan pasangan hidup yang sangat dewasa dan cinta Tuhan sekaligus mencintai saya tanpa melihat kekurangan dan kelemahan saya.

Kini hidup saya dipenuhi mujizat demi mujizat dari Tuhan. Tuhan juga memberikan saya buah hati yang normal pula. Tuhan memberikan pelayanan yang istimewa buat saya, yaitu menjadi pembina kaum muda, worship leader, konselor dan motivator bagi siapa saja yang membutuhkan. Dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya membuka rental play station dan mengajar privat drum.

Kemurahan Tuhan semakin banyak saya rasakan ketika saya berhasil membuat sebuah album rohani berjudul Berbahagialah dimana didalamnya berisi lagu-lagu ciptaan sendiri. Lewat album ini, saya rindu sekali umtuk menceritkan kepada mereka yang putus asa, berbeban berat dan tak berpengharapan agar tetap berbahagia. Karena sesungguhnya dalam kelemahan kita, justru di situlah kekuatan Tuhan nyata dalam hidup kita! Tuhan memakai saya tanpa merubah masalah saya, namun merubah hati, pikiran dan cara pandang saya tentang hidup. Bahwa sesungguhnya hidup saya yang dulu terasa gelap kini menjadi terang! (Ricky Sobana)

Sungguh kesaksian yang sangat memberkati! Yuk kita cari dan beli albumnya Ricky “Berbahagialah” di toko buku/kaset rohani terdekat, pasti kita akan mengalami kuasa dan kasih Tuhan Yesus Kristus! – INSIDE

Seperti Untuk Tuhan

Namanya Jarot Wijanarko. Ia lahir pada 12 September 1963 dari keluarga sederhana di Karangpandan, desa kecil berjarak 28 km dari Solo, Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah dan Ibunya seorang guru SD. Sewaktu kecil, ia sudah dilatih untuk tidak malu “berjualan”, yaitu mengantarkan es lilin ke warung-warung dan juga para tetangga. Keberhasilannya saat ini mematahkan pendapat awam bahwa anak guru, biasanya menjadi guru juga. Dan membuktikan bahwa nasib seseorang tidak tergantung dari masa lalu, serta kemiskinan bukanlah halangan untuk menjadi kaya (berkelimpahan secara rohani+jasmani+materi).

Berbekal uang Rp 40.000,- dari orangtuanya, ia kuliah kekotaBogor. Pada tahun 1990, ia menikahi adik kelasnya, Esther Setiawati dan saat ini dikaruniai Tuhan dua putri dan satu putra, Levina, Nia dan Bena. Pada tahun yang sama, setelah lulus menjadi Sarjana Teknik dari Institut Pertanian Bogor (IPB), ia merantau ke Jakarta dengan hanya membawa sebuah koper, dan tinggal di rumah bedeng tanpa TV. Hidup dikotayang keras dengan banyak tantangan, bukanlah halangan baginya untuk maju. Kegagalan, Penolakan, Masalah adalah bagian besar dari proses hidup yang ia jalani.

Sebagai seorang ayah, ia belajar untuk mendidik secara reward+punishment, menerima setiap anak-nya sebagai pribadi yang unik/spesial, bersedia menjadi teman/sahabat bagi anak-nya.

Dalam dunia kerja, ia adalah seorang karyawan yang berkarakter seperti tokoh di Alkitab: Yusuf dan Daniel; berintegritas, jujur, bisa dipercaya, disiplin, rajin, radikal dan mempunyai excellent spirit, melakukan  segala sesuatu seperti untuk Tuhan (Kol 3:23). Dia dijauhi teman dan dimusuhi banyak orang karena prinsip hidupnya. Dijuluki “Si Sosial”, Sok Sial.  Tapi di sisi lain dia juga menjadi Karyawan terbaik. Salah seorang direksi di tempatnya bekerja menjulukinya “The Rising Star”.

Kemudian dengan modal dasar “hanyalah” KEJUJURAN, seseorang memercayainya untuk mengelola sebuah perusahaan. Ia menjalankan prinsip-prinsip Kerajaan Allah dalam usahanya, antara lain membayar pajak, tidak menerima suap, menjauhi godaan “wanita”, memperlakukan supplier/buyer dan membangun jaringan/networking dengan benar. Bersama partner kerjanya tersebut, ia menjadi founder dan komisaris dari PT IFARIA GEMILANG yang berdiri tahun 1992. Saat ini perusahaan tersebut memiliki jaringan distribusi di 32 propinsi, 175kotadengan sistem MLM bermoto IFA DASYAT. Anggotanya 500.000 orang dan menjual 1.600 jenis produk.

Selain sebagai pengusaha, ia juga mendedikasikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan sesama. Dan karena memiliki hati terhadap anak-anak/pendidikan, maka pada 1995 ia membuka TK (Taman Kanak-Kanak) Happy Holly Kids di rumahnya, yang sampai  saat ini telah berkembang menjadi usaha franchise. Selain itu, dengan nama yang sama ia membuka PT Happy Holy Kids yang bergerak dalam bidang pendidikan informal dengan memberikan pendidikan usia dini, yaitu memproduksi film, lagu, cd, kaset, vcd yang ditayangkan di 29 kota besar melalui berbagai saluran TV Lokal.

Tidak hanya itu, Ia juga mendirikan sekaligus menjadi ketua dari Yayasan Pulihkan Indonesia, yang memiliki Panti Asuhan dan 16 cabang sekolah TK Pemulihan, melakukan kegiatan sosial di berbagai kota di Indonesia

Kegiatannya yang lain adalah sebagai pembicara seminar, KKR, training motivasi interdenominasi, lintas agama, lintas geografis (Biasanya ia berbicara mengenai keluarga, multiple intelegensi, mendidik anak, dan tentunya kebenaran Firman Tuhan) dan juga menulis. Sejak 1990 ia telah menulis lebih dari 30 buku dan saat ini sedang menyelesaikan 6 buku lainnya. Buku-bukunya banyak menjadi sumber insipirasi, mendorong dan membawa pemulihan/perubahan bagi pembaca, antara lain: “Menembus Batas”, “Hidup Produktif”, “Pernikahan Bahagia”, “Rajawali”, “Saya Mau Kaya”.

Dengan banyak hal besar yang Tuhan percayakan kepadanya, ia tetap tidak berhenti untuk bermimpi besar karena ia tahu bahwa Allah yang dicintainya adalah Allah yang Besar, yang mempunyai Kuasa Tak Terbatas. Mimpinya yang masih belum menjadi kenyataan adalah membuat sebuah HAPPY HOLLY KIDS LAND seluas 100 hektar, dengan konsep gabungan antara Universal Studio dan Disneyland. “Great people, make things happen. Ordinary people, watch things happen. Small people, wonder what happen”.

Perjalanan hidupnya berhasil dilalui dan dilewati karena  kekuatan Cinta! Cinta pada Tuhan, keluarga, panggilan hidupnya, anak-anak kecil, jiwa-jiwa, pekerjaannya. Semua karena cinta! Ia mengatakan bahwa karena Cinta kekuatan bisa muncul kembali, walaupun secara fisik badan sudah lelah.

Dari perjalanan hidupnya teman-teman INSIDE bisa belajar bahwa orang yang menempatkan Tuhan di urutan nomor satu dalam hidupnya, penuh cinta kasih, hidup benar, menerapkan prinsip-prinsip Kerajaan Allah, berkarakter, berintegritas, produktif pasti memberi dampak/pengaruh bagi orang lain dan nama Tuhan dipermuliakan. Marilah kita berkarya! (Lovinalina-INSIDE)

(Pada INSIDE edisi mendatang, beliau akan menjadi salah satu kontributor dalam rubrik Question and Answer. (Terima kasih untuk kesediaannya Mas). Kirim pertanyaan teman-teman seputar dunia usaha, dunia kerja, keluarga, dll untuk dijawab oleh beliau. Yuk! Ditunggu ya…!).

Rekonsiliasi Membawa Damai di Hati

 

Setelah mendengar sebuah khotbah di suatu Minggu tentang perlunya rekonsiliasi dalam hubungan setiap orang Kristen, saya berpikir keras, apa masih ada yang belum beres dalam hidup saya? Dan jawaban saya sendiri adalah semuanya sudah beres, tidak perlu melakukan rekonsiliasi kepada siapapun, padahal saat itu saya sadar betul kalo saya tidak bicara bertahun-tahun dengan adik perempuan saya. Kalo ketemu ya seperti orang yang tidak kenal, dia bahkan lebih dekat dengan teman perempuan seangkatan saya, yang disebutnya sebagai “cici angkat”, tapi tetep aja saya gak ngerasa ada yang salah.

Sampai suatu ketika, Tuhan menegur saya secara pribadi. Hubungan saya dengan Tuhan selama ini gak pernah bisa terlalu dekat, dan saya baru sadar, mungkin karena saya belum beresin hubungan saya dengan adik perempuan saya itu. Akhirnya saya putuskan untuk membereskannya. Awalnya saya hampir membatalkannya, saya merasa gengsi sekaligus takut. Tapi saya memberanikan diri untuk menghampirinya dan meminta maaf atas segala perbuatan jahat saya, saya tidak menjadi cici yang baik sampai dia harus meminta orang lain sebagai cicinya, saya tidak pernah peduli padanya, saya tidak menganggapnya ada, saya tidak sayang padanya, dan sebagainya, kemudian bertangis-tangisanlah kami.

Saat itu juga, saya langsung ngerasa kedamaian melingkupi hati saya. Saya bersyukur banget keputusan melakukan rekonsiliasi itu saya ambil. Kalau tidak, saya gak bisa bayangin kalo sampe detik ini saya masih gak ngomong sama adik saya, padahal tinggal satu atap. Sekarang, hubungan saya dan adik saya sangat baik, jauh lebih baik dari dulu. Tuhan, terima kasih karena masih menegur saya, terima kasih karena memampukan saya melakukan rekonsiliasi. Amin. (Dessy Chandra Wati)